Donggala (deadlinews.com) – Konflik agraria kembali mencuat di Kecamatan Rio Pakava, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah.
Warga dari lima desa—Polanto Jaya, Minti Makmur, Tinauka, Towiora, dan Rio Mukti—memprotes aktivitas PT Lestari Tani Teladan (LTT) yang diduga mengelola lahan di luar izin Hak Guna Usaha (HGU) serta merambah wilayah eks-transmigrasi.
Ketua Satgas Penyelesaian Konflik Agraria Sulawesi Tengah, Eva Bande, menegaskan bahwa laporan warga telah ditindaklanjuti Gubernur dengan membentuk Satgas khusus di bawah kendalinya.
Tim ini bertugas menelusuri riwayat penguasaan lahan sekaligus memastikan hak masyarakat tidak terabaikan.
“Perusahaan tidak perlu pakai cara intimidatif, sudah bukan zamannya. Pemerintah juga harus hadir secara hukum dan moral. Pemilik tanah dan air ini adalah rakyat,” tegas Eva, Selasa (19/8).
Eva juga mengingatkan bahwa sesuai Peraturan Menteri Pertanian, 20 persen dari konsesi HGU seharusnya diberikan kepada masyarakat.
Ia mendorong anggota Komisi II DPR RI, Drs. H. Longki Djanggola, M.Si., untuk memperjuangkan penyelesaian kasus ini di tingkat pusat.
Longki Djanggola: Harus Jujur, Adil, dan Sesuai Aturan
Merespons konflik ini, Longki Djanggola menegaskan komitmennya untuk mengawal penyelesaian masalah hingga tuntas. Ia menekankan pentingnya kepastian hukum serta perlindungan hak masyarakat atas lahan penghidupan.
“Saya minta semua pihak, terutama perusahaan, punya itikad baik menyelesaikan persoalan ini dan mau selalu duduk bersama dengan masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya. Persoalan ini harus diselesaikan secara jujur, adil, dan sesuai aturan hukum yang berlaku, agar semua pihak dapat memeroleh kemanfaatannya,” ujar Longki di kompleks DPR/MPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu (20/8).
Longki menambahkan, persoalan ini telah ia sampaikan ke Kementerian ATR/BPN dengan penekanan agar hak-hak masyarakat tidak dirugikan.
Warga Ungkap Kekerasan dan Sertifikat Tumpang Tindih
Kepala Desa Minti Makmur, Kasnudin, mengenang kembali peristiwa kelam pada 2004 ketika warga, termasuk perempuan dan anak-anak, mengalami kekerasan akibat konflik lahan.
“Kalau karena kami memilih tanah ini lantas patut direpresi, tunjukkan undang-undangnya! Saya melihat rakyat saya menderita, saya siap mengembalikan tanah ini kepada mereka,” ujarnya.
Sementara itu, Sekretaris Desa Polanto Jaya, Riyadi, membeberkan adanya tumpang tindih sertifikat. Menurutnya, lahan yang sejak 1990-an dikelola warga dengan sertifikat hak milik (SHM) kini justru masuk dalam area HGU PT LTT berdasarkan peta terbaru.
“Ada sekitar 254 hektare sawit milik PT LTT yang berdiri di luar HGU, masuk ke lahan bersertifikat warga,” jelasnya.
Pihak BPN Donggala menegaskan, apabila terbukti terjadi tumpang tindih antara SHM dan HGU tanpa pelepasan hak oleh masyarakat, maka HGU bisa dibatalkan.
“SHM dan HGU tidak boleh tumpang tindih. Harusnya hanya satu sertifikat di atas satu bidang tanah,” tegas perwakilan BPN.
Respons Perusahaan dan Pemda
Direktur PT LTT, Agung, menyatakan pihaknya siap turun langsung ke lapangan untuk memverifikasi data agar tidak terjadi kesalahpahaman.
“Kami sudah punya data ganti rugi dan kompensasi. Silakan warga yang punya SHM kumpulkan datanya. Nanti kita sinkronkan dengan data perusahaan dan serahkan ke Pemda Donggala,” ujarnya.
HGU PT LTT diketahui berlaku sejak 2007 hingga 2029. Agung menegaskan tidak ada persoalan dengan lahan eks Letawa dan berharap situasi tetap kondusif.
Sementara itu, Asisten I Pemda Donggala, Moh. Yusuf Lamakampali, memastikan penyelesaian akan dilakukan secara bertahap.
“Langkah kita, step by step. Kita cari solusi percepatan yang adil untuk semua pihak,” katanya.
Kasus ini kini menjadi perhatian serius pemerintah daerah, pemerintah pusat, serta DPR RI. Satgas Penyelesaian Konflik Agraria dijadwalkan memanggil seluruh pihak terkait untuk mencari solusi yang adil dan berpihak pada kepentingan masyarakat.*
Fredi