Jakarta (deadlinews.com) – Tamrin, seorang peneliti dari Pusat Riset Preservasi Bahasa dan Sastra (PR PBS) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), menyebut bahasa Kaili sedang menghadapi ancaman kepunahan.
Hal tersebut diungkapkan Tamrin dalam konferensi internasional preservasi bahasa dan sastra yang berlangsung di Kawasan Sains Sarwono Prawirohardjo, BRIN Gatot Subroto, Jakarta, Kamis (20/02).
Bahasa Kaili merupakan bahasa asli etnik terbesar di Sulawesi Tengah (Sulteng) yang digunakan di Kabupaten Donggala, Sigi, Parigi Moutong, Kota Palu, dan di beberapa wilayah Poso Pesisir, Kabupaten Poso, meskipun jumlah penuturnya terus menurun.
Dalam riset kolaborasi dengan Ulfah dari Universitas Tadulako, Palu, Tamrin meneliti penggunaan bahasa Kaili di beberapa daerah di Sulteng menggunakan pendekatan sosiolinguistik.
Penelitiannya mengkategorikan ancaman kepunahan bahasa Kaili dalam tiga ranah utama, yaitu keluarga, ketetanggaan, dan pemerintahan.
Menurutnya, beberapa faktor utama yang menyebabkan kepunahan bahasa ini adalah jumlah penutur asli yang semakin sedikit, dominasi bahasa daerah lain yang lebih prestisius, serta rendahnya penggunaan bahasa Kaili di kalangan generasi muda.
“Hanya sedikit generasi muda Kaili yang tumbuh dalam lingkungan bahasa ibu hingga usia dewasa. Sebagian besar lebih sering terpapar bahasa Indonesia atau bahasa asing sejak bayi,” ungkap Tamrin, mengutip hasil wawancara dengan tokoh masyarakat dan praktisi linguistik.
Selain itu, lanjut Tamrin perkembangan media digital turut mengubah persepsi terhadap bahasa daerah. Generasi muda, khususnya generasi Y dan Z, lebih memilih menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa asing seperti bahasa Inggris karena dianggap lebih modern dan bergengsi.
“Anggapan bahwa bahasa daerah kurang penting dibandingkan bahasa internasional menyebabkan pergeseran penggunaan bahasa Kaili, yang kini lebih sering digunakan sebagai bahasa kedua,” jelasnya.
Kondisi ini semakin diperparah oleh dinamika kebahasaan di lingkungan sekolah unggulan, terutama di Kota Palu, yang tidak lagi menjadikan bahasa Kaili sebagai bahasa utama. Heterogenitas etnis di sekolah-sekolah tersebut juga mempercepat peralihan ke bahasa Indonesia.
Tamrin memaparkan hasil risetnya mengenai tiga ranah penggunaan bahasa Kaili di tiga wilayah utama, yakni :
- Ranah keluarga
Di Kota Palu, penggunaan bahasa Kaili masih bertahan di kalangan lansia, namun sudah mulai berkurang di kelompok usia remaja dan dewasa.
Sementara itu, di Kabupaten Donggala dan Sigi, bahasa Kaili di kalangan remaja mulai tergeser oleh bahasa Indonesia, meskipun masih digunakan oleh kelompok usia dewasa dan lansia.
- Ranah ketetanggaan
Di Kota Palu, penggunaan bahasa Kaili sudah bergeser ke bahasa Indonesia. Di Kabupaten Donggala dan Sigi, bahasa Kaili masih cukup seimbang karena penduduknya relatif homogen.
- Ranah pemerintahan
Di seluruh wilayah yang diteliti, penggunaan bahasa Kaili dalam ranah pemerintahan telah sepenuhnya bergeser ke bahasa Indonesia.
Tamrin menyimpulkan bahwa bahasa Kaili, baik di perkotaan maupun di pedesaan, sudah masuk dalam kategori terancam punah.
“Oleh karena itu, diperlukan langkah konkret untuk melestarikan bahasa ini sebagai bagian dari warisan budaya Nusantara,’’ pungkasnya. *
(dii)