Jakarta (deadlinews.com) – Gubernur Anwar Hafid, menyoroti ketimpangan Dana Bagi Hasil (DBH) yang dialami Sulawesi Tengah dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi II DPR RI di Jakarta, Selasa (29/4).
Rapat yang dipimpin Ketua Komisi II Rifqinizamy Karsayuda dan dihadiri Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri) Ribka Haluk menjadi momentum Anwar mencurahkan kegelisahan yang selama ini dirasakan masyarakat Sulteng terhadap ketidakadilan distribusi hasil kekayaan alam.
Sulteng hanya terima Rp200 miliar per tahun dari sektor tambang
Anwar Hafid memaparkan fakta bahwa meski Sulteng menjadi salah satu kontributor terbesar bagi penerimaan negara dari sektor tambang – termasuk industri smelter yang disebut Presiden menyumbang hingga Rp570 triliun, provinsinya hanya menerima DBH sekitar Rp200 miliar per tahun.
Ia menggambarkan kondisi Sulteng sebagai hancur-hancuran akibat aktivitas pertambangan yang masif namun tidak memberi dampak signifikan bagi pendapatan daerah.
“Negeri kami itu hancur-hancuran, Pak. Tambang di mana-mana. Hancur-hancuran, Pak, negeri kami itu, keluh Anwar.
Sistem perpajakan dinilai tidak adil
Anwar Hafid juga menyoroti lemahnya sistem perpajakan yang hanya mengenakan pajak di mulut tambang, bukan di mulut industri seperti halnya di wilayah-wilayah lain yang telah mengadopsi izin usaha tambang pemurnian.
Menurutnya, jika pajak dikenakan saat produk nikel telah menjadi stainless steel, maka nilai ekonomis dan PAD Sulawesi Tengah bisa bersaing dengan provinsi-provinsi kaya seperti DKI Jakarta dan Jawa Barat.
Ia menyoroti kebijakan tax holiday dan tax allowance yang diberikan kepada perusahaan industri smelter hingga 25 tahun.
Sementara cadangan nikel di Morowali, katanya, hanya tinggal 10 tahun.
Kekhawatiran pasca-eksploitasi nikel
Ia mengaku khawatir dengan kondisi pasca-ekspolitasi nikel nantinya, ketika semua keuntungan telah diraup dan dikeruk dan meninggalakn Sulteng tanpa hasil berarti.
“Kemarin saya paksa, Pak. Tapi takutnya nanti dilaporin lagi saya ke pusat. Saya bilang kalau kalian tidak mau membuka perwakilan di Sulawesi Tengah, silakan angkat kaki. Tapi mereka semua sekarang bilang, Gubernur apa-apa sih, biar marah juga nggak ada masalah. Kita nggak ketemu juga, nggak ada juga keperluan kita sama Gubernur,” tambah Anwar dengan nada kecewa.
Pengusaha daftar NPWP di Jakarta, daerah tidak dapat apa-apa
Ia juga menyinggung keberadaan NPWP para pengusaha yang mayoritas terdaftar di Jakarta.
“Jadi mereka benar-benar mengambil keuntungan di sana. Kita yang merasakan dampaknya, kita tidak punya apa-apa,” ujarnya seraya meminta Komisi II untuk memperjuangkan hak daerah secara lebih serius.
Komisi II akan perketat pengawasan dana transfer pusat ke daerah
Sementara itu, Ketua Komisi II DPR RI, Rifqinizamy Karsayuda, menjelaskan bahwa rapat ini merupakan bagian dari pengawasan dana transfer pusat ke daerah.
Ia menyebut selama ini DPR RI belum maksimal mengawasi setelah dana ditransfer ke APBD.
Komisi II, katanya, ingin mendalami penggunaan berbagai jenis dana, termasuk Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, Dana Bagi Hasil, dan Dana Insentif Daerah.
Evaluasi kinerja BUMD dan penyelesaian masalah honorer
“Kita tahu hakikat dana transfer pusat ke daerah ini adalah dana APBN yang ditransfer ke provinsi dan kabupaten/kota masing-masing. Tapi selama ini DPR RI belum melakukan pengawasan setelah dana itu masuk ke APBD,” kata Rifqi.
Ia juga menyoroti kinerja BUMD yang di banyak daerah justru menjadi beban, bukan aset.
Komisi II kini mendorong hadirnya regulasi pembinaan dan pengawasan BUMD, termasuk kemungkinan pembubaran BUMD yang tidak sehat.
Rapat ini juga membahas reformasi birokrasi dan penyelesaian masalah honorer, yang disebut Rifqi masih menjadi pekerjaan rumah besar di berbagai daerah.
Ia memastikan bahwa forum seperti ini akan terus dilanjutkan secara berkala agar kebijakan pusat benar-benar berpijak dari kebutuhan nyata di daerah.
Anwar Hafid: suara daerah harus didengar
Bagi Anwar Hafid, forum ini menjadi ruang penting untuk menyampaikan kegelisahan yang selama ini tak terdengar.
Ia menegaskan bahwa para kepala daerah, meski dipilih langsung oleh rakyat, masih terkekang oleh wewenang pusat dan sistem regulasi yang kerap tak berpihak pada kepentingan daerah.
“Komisi II ini adalah komisi yang sangat strategis, dan pintu kami ada di situ, Pak. Mungkin sudah waktunya, Pak, dikorek-korek lagi,” pungkas Anwar.
Desentralisasi fiskal masih menyisakan ketimpangan
RDP ini menjadi momentum penting, menegaskan bahwa desentralisasi fiskal di Indonesia masih menyisakan ketimpangan yang dalam, dan suara dari daerah seperti Sulawesi Tengah harus menjadi prioritas dalam pembenahan kebijakan nasional. *
(dii)