Oleh : Pdt. Dharma Sallata Putera, S.Th.
Post Power Syndrome merupakan fenomena di mana seorang pemimpin tidak mampu melepaskan jabatannya dan berupaya mempertahankannya dengan segala cara, sering kali didorong oleh kegagalan dalam mengelola hasrat pribadi.
Pemimpin semacam ini cenderung memandang posisi/jabatan sebagai sumber harga diri dan gengsi, bukan sebagai amanah untuk melayani organisasi atau institusi.
Alkitab banyak menyinggung tentang karakter kepemimpinan yang benar dan bahaya dari ambisi yang tidak terkendali.
Mari kita belajar bersama memahami apa kata Alkitab dengan mengeksplorasinya dalam konteks teologi!
1. Kepemimpinan sebagai Pelayanan, Bukan Dominasi
Prinsip utama kepemimpinan Kristen adalah pelayanan yang menghidupi status Hamba tanpa hak dan penuh syukur karena melayani adalah sebuah kehormatan yang Tuhan percayakan melalui sesama. Yesus sendiri memberikan teladan ini.
Matius 20:25-28, dikatakan:
“Tetapi Yesus memanggil mereka lalu berkata:
“Kamu tahu, bahwa pemerintah-pemerintah bangsa-bangsa memerintah rakyatnya dengan tangan besi dan pembesar-pembesar menjalankan kuasanya dengan keras atas mereka.
Tidaklah demikian di antara kamu. Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa ingin menjadi terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hambamu;
Sama seperti Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang.”
Dalam Nats ini, Yesus membandingkan cara kepemimpinan duniawi dengan cara kepemimpinan ilahi.
Kepemimpinan duniawi didasarkan pada kekuasaan dan dominasi (“memerintah… dengan tangan besi”).
Tujuannya adalah untuk dilayani bukan melayani. Sebaliknya, kepemimpinan Kristiani didasarkan pada kerendahan hati dan pengorbanan (“menjadi pelayanmu,” “menjadi hambamu”).
Seorang pemimpin yang benar melihat jabatannya sebagai kesempatan untuk melayani orang lain, bukan untuk meninggikan diri.
Teolog Dietrich Bonhoeffer, dalam tulisannya tentang pelayanan, sering kali menekankan bahwa kepemimpinan yang sejati adalah tentang bertanggung jawab kepada Tuhan atas orang-orang yang dipimpin, bukan tentang meraih popularitas atau kekuasaan pribadi.
Gagal memahami prinsip ini dapat menyebabkan seorang pemimpin mengikat identitas dirinya pada jabatannya, sehingga ketika jabatan itu hilang, ia merasa kehilangan diri sendiri.
2. Bahaya Hati yang Terlalu Ambisius
Alkitab secara jelas dan tegas memperingatkan orang Kristen tentang bahaya ambisi yang tidak terkendali, yang dapat memicu seorang pemimpin untuk menghalalkan segala cara.
2 Timotius 3:1-5, menjelaskan bahwa:
“Ketahuilah bahwa pada hari-hari terakhir akan datang masa yang sukar. Manusia akan mencintai dirinya sendiri dan menjadi hamba uang.
Mereka akan membual dan menyombongkan diri, mereka akan menghujat, tidak taat kepada orang tua, tidak tahu berterima kasih, tidak mempedulikan agama, tidak mengasihi, tidak mau mengampuni, memfitnah, tidak dapat mengendalikan diri, garang, tidak suka yang baik, suka mengkhianat, tidak berpikir panjang, berlagak tahu, lebih suka menuruti hawa nafsu dari pada menuruti Allah.”
Nats ini menggambarkan ciri-ciri manusia di akhir zaman, yang sebagian besar berkaitan dengan egoisme dan nafsu pribadi.
Pemimpin yang dijelaskan memiliki ciri-ciri seperti mencintai dirinya sendiri, membual dan menyombongkan diri, dan lebih suka menuruti hawa nafsu dari pada menuruti Allah.
Ketika kepemimpinan tidak didasarkan pada karakter ilahi, pemimpin dapat dengan mudah terjerumus pada tindakan yang merusak, termasuk menghalalkan segala cara, demi mempertahankan posisi yang telah menjadi berhala bagi dirinya.
Teolog Richard Foster, berpendapat dalam bukunya “Celebration of Discipline”, membahas tentang disiplin kerendahan hati.
Ia menjelaskan bahwa untuk mempraktikkan kerendahan hati, seseorang harus melepaskan kebutuhan akan validasi dari orang lain atau dari posisi yang dipegangnya.
Kegagalan melakukan ini membuat pemimpin menjadi rentan terhadap godaan untuk menempatkan dirinya di atas segalanya, bahkan di atas tujuan organisasi atau institusi yang dipimpinnya.
3. Pentingnya Pengangkatan Pemimpin yang Tepat
Pengangkatan pemimpin yang terburu-buru tanpa memperhatikan bebet, bobot, dan bibit, apalagi hanya karena terburu-buru atau karena kedekatan, sebenarnya akan menimbulkan masalah dan tidak akan membuat orang/ organisasi yang dipimpin berkembang maju.
Alkitab memiliki kriteria jelas untuk kepemimpinan, mari kita pahami bersama:
Dalam 1 Timotius 3:1-7, dgn tegas dikatakan:
“Jika seseorang menginginkan jabatan penilik jemaat, ia menginginkan pekerjaan yang baik.
Karena itu penilik jemaat haruslah seorang yang tak bercacat, suami dari satu isteri, dapat menahan diri, bijaksana, sopan, suka memberi tumpangan, cakap mengajar orang, bukan pemabuk, bukan pemarah melainkan peramah, bukan seorang yang suka bertengkar, bukan hamba uang, seorang kepala keluarga yang baik, disegani dan dihormati anak-anaknya.
Ia juga harus mempunyai nama baik di mata orang-orang luar, supaya ia jangan dicela orang dan jatuh ke dalam jerat Iblis.”
Nats ini mencantumkan kriteria karakter yang sangat ketat untuk seorang pemimpin rohani. Hal ini menunjukkan bahwa kepemimpinan bukan hanya tentang kemampuan teknis atau karisma, tetapi terutama tentang integritas karakter.
Kualitas seperti tidak bercacat, dapat menahan diri, dan bukan hamba uang adalah fondasi yang penting.
Pemimpin yang tidak memiliki fondasi karakter yang kuat akan mudah goyah saat dihadapkan pada godaan kekuasaan.
Menurut Teolog J. Oswald Sanders, dalam bukunya “Spiritual Leadership” menegaskan bahwa kualitas utama seorang pemimpin adalah integritas moral dan kedekatan dengan Tuhan.
Ia berpendapat bahwa kepemimpinan yang efektif tidak bisa dipisahkan dari karakter pribadi.
Seorang pemimpin yang diangkat tanpa mempertimbangkan integritas karakternya akan cenderung memimpin dengan ego, bukan dengan roh pelayanan.
Jadi dapat disimpulkan dari perspektif Alkitab, post power syndrome berakar pada kegagalan spiritual dan karakter. Ini terjadi ketika seorang pemimpin:
- Memahami kepemimpinan sebagai dominasi dan gengsi, bukan sebagai pelayanan dan amanah.
- Menempatkan identitas dirinya pada jabatan atau posisi, bukan pada identitasnya sebagai anak Tuhan yang diciptakan untuk melayani.
- Membiarkan ambisi dan hawa nafsu menguasai dirinya, sehingga mengabaikan kepentingan organisasi dan tujuan yang benar.
Fenomena ini dapat dicegah dengan memastikan bahwa kriteria karakter yang saleh menjadi pertimbangan utama dalam proses pengangkatan pemimpin, sejalan dengan prinsip-prinsip yang diajarkan dalam 1 Timotius 3.
Kepemimpinan yang sejati adalah tentang melayani dengan rendah hati, menyadari bahwa setiap posisi adalah anugerah Tuhan dan bukan hak pribadi.
Semoga kita semua mendapatkan pencerahan dan menambah pengetahuan akan Leadership kita.
Salam Damai, Sehat Selalu.
Mantap