Putusan MK Retroaktif !!

Sebelum Putusan MK, INLOK/IUP 2006 Berlaku Bagi Perusahaan Perkebunan

(deadlinews.com) – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait perkebunan, khususnya yang berkaitan dengan petani kecil dan masyarakat hukum adat, tidak berlaku surut (retroaktif) dalam arti tidak membatalkan tindakan atau peristiwa yang terjadi sebelum putusan tersebut ditetapkan.

Namun, putusan MK memiliki kekuatan mengikat dan final, sehingga norma-norma baru yang ditetapkan dalam putusan tersebut harus diterapkan untuk tindakan atau peristiwa di masa depan.

Penjelasan Lebih Lanjut:

Putusan MK bersifat final dan mengikat:

Putusan MK tidak dapat diajukan banding atau kasasi dan berlaku sejak diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum Mahkamah Konstitusi.

Tidak berlaku surut:

Meskipun putusan MK tidak membatalkan tindakan masa lalu, namun putusan tersebut menciptakan norma hukum baru yang harus diikuti untuk peristiwa dan tindakan di masa mendatang.

Contoh Kasus Perkebunan:

Dalam putusan terkait perkebunan, MK menyatakan bahwa pemuliaan tanaman oleh petani kecil tidak memerlukan izin dan anggota masyarakat hukum adat memiliki hak untuk mengelola lahan perkebunan.

Putusan ini tidak berarti bahwa tindakan yang dilakukan sebelum putusan tersebut menjadi sah, namun tindakan serupa di masa depan harus sesuai dengan putusan MK tersebut.

Implikasi:

Putusan MK ini memberikan perlindungan hukum bagi petani kecil dan masyarakat hukum adat dalam pengelolaan lahan perkebunan dan pemuliaan tanaman.

Jadi, meskipun putusan MK tidak berlaku surut, putusan tersebut memiliki dampak signifikan pada kebijakan dan praktik perkebunan di masa depan, khususnya terkait dengan perlindungan petani kecil dan masyarakat hukum adat.

Kemudian Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait perusahaan perkebunan mewajibkan perusahaan untuk memiliki Hak Guna Usaha (HGU) dan Izin Usaha Perkebunan (IUP) untuk beroperasi.

Namun tidak membatalkan izin sebelumnya yakni INLOK 2006. Karena putusan MK tersebut tidak berlaku surut. Artinya aturan yang berlaku sebelumnya tetap dapat digunakan dan sah pada masa itu.

Putusan ini mengubah ketentuan sebelumnya yang memperbolehkan perusahaan beroperasi hanya dengan IUP.

Perusahaan yang tidak memenuhi kedua syarat ini terancam sanksi administratif, termasuk penghentian usaha dan denda.

Penjelasan Lebih Lanjut:

Putusan MK:

Putusan MK, khususnya Putusan MK Nomor 138/PUU-XIII/2015, mengubah Pasal 42 UU Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan.

Awalnya, pasal tersebut menyatakan bahwa perusahaan perkebunan bisa beroperasi dengan memiliki IUP atau HGU.

Putusan MK menghapus kata “atau” sehingga menjadi “dan”, yang berarti perusahaan wajib memiliki keduanya.

IUP dan HGU:

IUP (Izin Usaha Perkebunan): Izin yang diberikan oleh pemerintah kepada perusahaan untuk melakukan kegiatan usaha perkebunan, termasuk budidaya dan pengolahan.

HGU (Hak Guna Usaha): Hak atas tanah yang diberikan kepada perusahaan untuk mengusahakan tanah yang dikuasai negara, dengan jangka waktu tertentu.

Konsekuensi Pelanggaran:

Perusahaan perkebunan yang beroperasi tanpa HGU, meskipun memiliki IUP, dianggap melanggar hukum itu berlaku sejak putusan MK itu diucapkan dan ditetapkan.

Mereka bisa dikenai sanksi administratif seperti penghentian sementara kegiatan usaha, denda, atau paksaan pemerintah.

Tindakan Pemerintah:

Pemerintah, termasuk Kementerian ATR/BPN, sedang menertibkan perusahaan perkebunan yang belum memiliki HGU.

Mereka akan mengevaluasi setiap perusahaan dan memberikan sanksi sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Tujuan Penertiban:

Penertiban ini bertujuan untuk memastikan kepatuhan perusahaan terhadap peraturan perundang-undangan, melindungi hak-hak masyarakat, dan menciptakan iklim usaha yang lebih baik.

Dampak bagi Masyarakat:

Putusan MK dan penertiban yang dilakukan pemerintah diharapkan dapat memberikan kepastian hukum bagi masyarakat terkait pengelolaan lahan perkebunan, serta mengurangi potensi konflik agraria.

Terkait PT Rimbunan Alam Sentosa (RAS) di Kabupaten Morowali Utara saat beroperasi tahun 2006 mengantongi Izin Lokasi (INLOK) dengan Nomor 188.45/SK.0909/UMUM/2006 seluas 21.289 hektare dan Izin Usaha Perkebunan (IUP) dengan Nomor 525.26/0478/UMUM/2007, yang diterbitkan oleh Bupati Morowali saat itu, Anwar Hafid, sah.

Nah sekarang setelah adanya putusan MK tahun 2015, maka wajib bagi perusahaan perkebunan termasuk PT RAS mengurus HGU.

Sahlan Lamporo, advokat kondang di Palu, menjawab media ini mengatakan INLOK dan IUP perkebunan sah dan berlaku tahun 2006.

Hanya saja setiap tiga tahun diperbaharui pada masa itu. Kemudian soal putusan MK tahun 2015 tentang perkebunan wajib memilik HGU itu tidak belaku surut. Tapi berlaku saat diucapkan putusan itu dan seterusnya.

“Artinya aturan yang lama yakni INLOK dan IUP tetap sah dan berlaku sebelum adanya putusan MK itu,” tulis pengacara yang mantan wartawan itu.

Selain itu INLOK dan IUP dapat diberikan kepada pemohon yang telah memenuhi persyaratan dan sesuai dengan RTRW Kabupaten.

Bahkan terhadap lahan yang telah memiliki alas hak sekalipun, dengan ketentuan pemilik INLOK atau IUP untuk menggunakan lahan tersebut harus terlebih dahulu membebaskan lahan atau melakukan perjanjian/sewa dengan pemilik alas hak (sertifikat dan sejenisnya).

Kesimpulannya Kepala Daerah tidak keliru kalau mengeluarkan INLOK atau IUP di atas lahan yang telah bersertifikat, karena INLOK atau IUP adalah dokumen perizinan bukan tanda bukti hak.*

(dii) 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *