Morowali Utara (deadlinews.com) Slogan “Polri Presisi” yang digaungkan sebagai simbol penegakan hukum yang transparan dan berkeadilan, kini dipertanyakan di Kabupaten Morowali Utara.
Kasus dugaan kriminalisasi terhadap Ahmad Fausan dan Muharram menyoroti ketidakadilan dalam penanganan hukum oleh Polres Morowali Utara.
Kasus ini bermula pada Jumat, 1 November 2024, ketika Jabbar, anggota kelompok Pak Yahya, mendapati sekelompok orang yang mengatasnamakan Koperasi Plasma Desa Bunta dan Lembaga Adat Wulanderi sedang memanen kelapa sawit di lahan yang diklaim sebagai milik kelompoknya.
Mereka memasang spanduk yang menyatakan bahwa tanah tersebut merupakan bagian dari plasma Desa Bunta sesuai dengan Surat Keputusan (SK) Bupati Morowali Utara Nomor 188.45/Kep-B.MU/0213/IX/2016.
Melihat aktivitas tersebut, Jabbar berusaha menghentikan panen, namun imbauannya diabaikan. Ia kemudian menghubungi Fausan dan rekan-rekannya untuk memastikan situasi di lapangan setelah shalat Jumat.
Setibanya di lokasi sekitar pukul 14.00, mereka menemukan kelompok tersebut masih melakukan panen, dengan satu truk penuh buah sawit. Melihat kedatangan mereka, sebagian dari kelompok tersebut melarikan diri.
Namun, pada pukul 14.30 Wita, salah satu anggota kelompok yang diduga pencuri sawit melaporkan pengeroyokan ke SPKT Polres Morowali Utara, mengklaim bahwa ia telah dianiaya oleh Fausan dan rekan-rekannya.
Sementara itu, pada pukul 18.30 Wita, Fausan melaporkan dugaan pencurian buah sawit dengan membawa bukti berupa dokumen kepemilikan lahan dan dokumentasi kejadian.
Akan tetapi, alih-alih mendapatkan keadilan, Fausan dan Muharram justru ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan penganiayaan.
Pada 28 Januari 2025, mereka ditahan di sel Polres Morowali Utara. Kuasa hukum mereka menilai penetapan tersangka ini dipaksakan, terutama terhadap Muharram yang disebut tidak pernah melakukan pemukulan.
Lebih mengejutkan lagi, laporan dugaan pencurian sawit yang diajukan Fausan dihentikan penyelidikannya oleh Polres Morowali Utara.
Dalam Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyelidikan (SP2HP) Nomor B/28/II/2025/Satreskrim, penyidik menyatakan bahwa laporan tersebut tidak cukup bukti karena:
- Fausan tidak dapat membuktikan kepemilikan lahannya.
- Blok 9, tempat kejadian dugaan pencurian, termasuk dalam lokasi plasma Desa Bunta sesuai SK Bupati Morowali Utara.
- Pohon kelapa sawit di Blok 9 ditanam oleh PT Agro Nusa Abadi (PT ANA), sehingga tidak memenuhi unsur Pasal 362 KUHP tentang pencurian.
Namun, kuasa hukum Fausan membantah alasan tersebut. Mereka menyatakan bahwa klien mereka memiliki dokumen kepemilikan tanah berupa Surat Keterangan Pengelolaan Tanah (SKPT) yang diterbitkan pemerintah desa dan camat sejak 2005.
Bahkan, kelompok Pak Yahya telah menguasai lahan ini sejak 2019 setelah melalui berbagai perjuangan hukum dan administratif di DPRD, Pemda, dan Kantor Staf Presiden.
Selain itu, kuasa hukum menyoroti inkonsistensi penyidik. Dalam kasus serupa di Desa Bungintimbe, penyelidikan terhadap Koperasi Maju Bersama dihentikan karena PT ANA tidak memiliki Hak Guna Usaha (HGU).
Padahal, dalam kasus Fausan, penyidik justru menjadikan SK Bupati sebagai dasar klaim lahan plasma, meski SK tersebut tidak secara eksplisit menetapkan lokasi lahan plasma.
Atas dasar ini, kuasa hukum Fausan menilai Polres Morowali Utara bertindak tidak profesional dan tidak berkeadilan.
Mereka mendesak Kapolda Sulawesi Tengah untuk mengevaluasi kinerja penyidik agar kepercayaan masyarakat terhadap Polri tetap terjaga.
“Setiap warga negara mempunyai kedudukan yang sama di hadapan hukum, sebagaimana diatur dalam UUD 1945 dan UU Hak Asasi Manusia Nomor 39 Tahun 1999. Jangan sampai slogan PRESISI hanya sekadar pencitraan tanpa implementasi nyata dalam penindakan hukum,” tegas perwakilan dari Law Office TM.ETAL & Partners. *
(dii)