Palu (deadlinews.com) – AS, seorang pejabat di Dinas Ketenagakerjaan (Disnaker) Kota Palu, diduga bersikap arogan dengan menghina dan mengusir seorang wartawati yang tengah menjalankan tugas jurnalistik, Selasa (8/4).
Insiden tersebut menimpa Ruth Sanaya, jurnalis dari salah satu media lokal di Sulawesi Tengah, saat ia mendampingi Gita Nofebriani – karyawan PT Surya Tadulako Sejahtera (Martinizing Dry Cleaning), dalam proses mediasi di kantor Disnaker Palu.
Menurut penuturan Ruth, dirinya mendapat perlakuan tidak pantas dari AS, termasuk dimaki dengan sebutan “bodok” (bodoh) dan dipaksa keluar dari ruangan dengan alasan bahwa “wartawan bukan advokat.”
Padahal kata Ruth, kehadirannya bertujuan memberikan pendampingan moral dan menjalankan fungsi kontrol publik terhadap proses mediasi yang telah berlangsung tiga kali tanpa hasil yang jelas.
“Kami datang untuk meminta kejelasan soal surat bipartit/tripartit, bukan bikin keributan. Tapi justru diusir dan dihina. Kalau pejabat tidak paham fungsi pers, bagaimana mungkin Disnaker bisa melindungi pekerja?” kata Ruth usai kejadian.
Tindakan AS dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, yang menjamin hak wartawan dalam melakukan kegiatan jurnalistik, termasuk mendampingi masyarakat dalam isu-isu yang membutuhkan perhatian publik.
Insiden ini memicu reaksi dari berbagai pihak, termasuk aktivis buruh, komunitas jurnalis, dan organisasi masyarakat sipil.
Mereka mendesak Walikota Palu dan Gubernur Sulawesi Tengah untuk mengambil langkah tegas terhadap sikap arogansi birokrasi yang dianggap mencoreng semangat pelayanan publik.
“Seorang pejabat publik semestinya memahami pentingnya kolaborasi dengan media sebagai kontrol sosial. Ini bukan hanya soal penghinaan terhadap wartawati, tapi juga bentuk pembungkaman terhadap fungsi pers dan pembelaan terhadap pekerja,” ujar salah satu perwakilan LSM perempuan di Palu.
Peristiwa ini menjadi perhatian luas, mengingat peran pers – khususnya wartawati – semakin vital dalam menyuarakan kepentingan kelompok rentan seperti buruh perempuan.
Tindakan intimidatif terhadap jurnalis tak hanya mencederai prinsip kebebasan berekspresi, tetapi juga menghambat perlindungan hak-hak pekerja di daerah.*
(dii)